Niswah.net — Hidup di dunia, bolehkah menikmatinya? Haruskah selalu berkutat dengan akhirat? Akhirat lagi dan akhirat terus, tak perlu memikirkan dunia? Sepertinya, kisah antara sahabat Abu Bakar dan Hanzhalah berikut, penting untuk disimak agar kita bisa menyikapi hal tersebut.
Suatu ketika, Abu Bakar menemui Hanzhalah lalu ia berkata, “Bagaimana kabarmu, wahai Hanzhalah.” Hanzhalah menjawab, “Hanzhalah munafik.” Abu Bakar berkata, “Subhanallah, apa yang kamu katakan?!”
Hanzhalah menjelaskan, “Ketika kita bersama Rasulullah shalallahu alaihi wa sallam, beliau mengingatkan neraka dan surga, seakan-akan kita melihatnya dengan mata kepala sendiri. Namun, ketika kita keluar dari Rasulullah shalallahu 'alaihi wa sallam, kita bersenang-senang dengan keluarga, anak-anak, dan kesibukan dunia. Sehingga, kita melupakannya lama sekali.”
Abu Bakar berkata, “Demi Allah, sungguh kita memang merasakan hal tersebut.”
Lalu, Hanzhalah dan Abu Bakar pergi dan menemui Rasulullah shalallahu 'alaihi wa sallam. Hanzhalah pun berkata, “Hanzhalah munafik, wahai Rasulullah.”
Rasulullah shalallahu 'alaihi wa sallam bertanya, “Mengapa?”
Ia menjawab, “Ketika kami bersama denganmu, lalu engkau ingatkan kami dengan surga dan neraka, seakan-akan kami merasa betul-betul melihatnya. Namun, ketika kami pulang, kami bersenang-senang dengan keluarga, anak-anak, dan kesibukan dunia. Kami banyak lupanya.”
Rasulullah shalallahu 'alaihi wa sallam bersabda, “Demi Allah, seandainya kalian tetap dalam keadaan seperti ketika bersamaku dan berdzikir, pasti malaikat akan bersalaman dengan kalian di tempat diam dan berjalan kalian. Namun, wahai Hanzhalah, sa’atan sa’atan.” (Shahih Muslim, 7142)
Dalam sanad lain Hanzhalah menyatakan, “Kemudian aku pulang ke rumah, lalu aku tertawa bersama anak-anak dan bersenang-senang dengan istri.” (Shahih Muslim, 7143)
Sa’atan sa’atan dalam teks hadits tersebut, dijelaskan oleh Syaikh Mahmud Al-Mishri dalam buku terjemahan edisi bahasa Indonesia, dengan judul “Semua Ada Saatnya: Seni Menikmati Hidup Lebih Seimbang” (Pustaka Al-Kautsar). Disampaikan di dalamnya bahwa hidup adalah kumpulan-kumpulan kegiatan. Kegiatan itu ada yang serius, ada pula yang memerlukan canda dan senyum. Kehidupan seorang muslim tidak semuanya melulu bersifat ritual ibadah, tapi terkadang harus diselingi dengan kegiatan-kegiatan yang mengundang rehat dan senyum. Bukankah Rasulullah juga pernah bercanda?
Tidak seluruh waktu dipakai hanya untuk sujud dan ruku’. Tidak semuanya dipakai untuk bermain terus. Bukankah manusia itu terdiri tiga unsur: akal, jasad, dan ruh, yang masing-masing mempunyai kebutuhan. Kebutuhan akal adalah tadabur, membaca dan menganalisa. Kebutuhan jasad adalah makan, minum, dan istirahat. Sedangkan kebutuhan ruh adalah amal saleh.
Dijelaskan pula oleh Syaikh Mahmud Al-Mishri bahwa syariat Islam membebani sesuai dengan kemampuan manusia yang terbatas. Memenuhi kebutuhan manusia dengan menetapkan aturan-aturan dan ruang-ruang. Mengatur manusia agar mendapatkan kenikmatan. Islam tidak pernah menjadi musuh yang menguasai tabiat manusia; tidak pula memerangi dan menekan tabiat manusia.
Akan tetapi, Islam adalah agama yang berinteraksi dengan tabiat kemanusiaan yang sesuai dengan fitrahnya yang lurus dan benar, berjalan seiring tanpa terlalu membebaskan atau terlalu menekan. Islam adalah agama pertengahan dan keutamaan itu selalu berada di tengah: di antara dua kenistaan.
Keseimbangan adalah ciri utama agama Islam dalam seluruh syariat dan aturan hukumnya. Sederhana dan mudah, tidak bertujuan mempersempit kemampuan yang ada pada manusia atau mengabaikannya. Islam menyerukan agar menginvestasikannya dalam kerangka keseimbangan, menjaganya dari sikap berlebihan dan melampaui batas.
Dengan demikian, dapat kita pahami bahwa dalam menyikapi hidup, sikap terbaik adalah pertengahan dan keseimbangan. Berada di tengah antara dua sikap ghuluw (melampaui batas), yaitu ifrath (berlebih-lebihan/keterlaluan) dan tafrith (bermudah-mudahan/menyepelekan).
Hal ini selaras dengan hadits Rasulullah shalallahu 'alaihi wa sallam yang diriwayatkan Anas bin Malik. “Ada tiga orang mendatangi rumah istri-istri Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam untuk bertanya tentang ibadah beliau. Lalu, setelah mereka diberitahukan (tentang ibadah tersebut), mereka menganggap ibadah itu sedikit sekali.
Mereka berkata, “Kita ini tidak ada apa-apanya dibandingkan dengan Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Beliau telah diberikan ampunan atas semua dosa-dosanya, baik yang telah lewat maupun yang akan datang.”
Salah seorang dari mereka mengatakan, “Adapun saya, maka akan shalat malam selama-lamanya.” Lalu orang yang lainnya menimpali, “Adapun saya, maka sungguh akan puasa terus menerus tanpa berbuka.” Kemudian yang lainnya lagi berkata, “Sedangkan saya akan menjauhi wanita, tidak akan menikah selamanya.”
Kemudian, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam mendatangi mereka, seraya bersabda, “Benarkah kalian yang telah berkata begini dan begitu? Demi Allah, sesungguhnya aku adalah orang yang paling takut kepada Allah dan paling takwa kepada-Nya di antara kalian. Akan tetapi, aku berpuasa dan juga berbuka (tidak berpuasa). Aku shalat dan juga tidur. Aku pun juga menikahi wanita. Maka, barang siapa yang tidak menyukai sunnahku, maka ia tidak termasuk golonganku.” (HR Bukhari, 5063; Muslim, 1401)
Keseimbangan hidup (tawazun) adalah menjalani kehidupan di atas petunjuk sunnah syariat-Nya dan Nabi-Nya. Bersikap pertengahan, tidak ekstrem kiri ataupun kanan. Sebaik-baik urusan adalah yang pertengahan dan adil dalam memandang sesuatu (tawasuth & i’tidal).
Sara Hagar
@srahaga